Rabu, 21 Juni 2017

Kisah Tumbangnya Yahoo: Tak Ada Perusahaan yang Terlalu Besar untuk Gagal


Dibutakan oleh uang

Pinjaman Uang | Ilustrasi


Paul

Tak ada alasan untuk tidak berterima kasih pada Yahoo.

Yahoo adalah “pusat gravitasi” di masa awal merebaknya bisnis internet di tahun 1990-an. Berkat Yahoo kita mengenal emailchat room, dan mesin pencari. Perusahaan yang didirikan Jerry Yang dan David Filo ini adalah salah satu katalis terbesar meledaknya dot com di akhir tahun 1990-an, yang dampaknya kita rasakan hingga saat ini.
Kini, masa keemasan Yahoo sudah berakhir.
Dijual US$4,83 miliar (sekitar Rp63 triliun) kepada Verizon, jauh meninggalkan valuasinya di masa keemasan senilai lebih dari US$100 miliar (sekitar lebih dari Rp1.300 miliar). Sang pelopor akan berganti nama menjadi Altaba, sebuah merk perusahaan holding milik Alibaba—Yahoo memiliki lima belas persen saham di sana.
Kabar kematian Yahoo pada bulan ini sebenarnya hanya menegaskan tanda-tanda sekarat yang sudah lama tampak. Yahoo semestinya menjadi Google yang kita kenal sekarang. Namun, mengapa yang kita lihat justru sebaliknya? Mengapa perusahaan sebesar Yahoo gagal? Graham, Co-Founder Y Combinator, menceritakan pengalamannya bekerja di tahun-tahun awal kesuksesan Yahoo. Ia melihat sendiri betapa Yahoo menjadi sebuah keajaiban baru di dunia bisnis dengan mampu menciptakan kekayaan begitu besar dalam waktu cepat.
Produk utamanya adalah iklan banner (banner ad) dan Yahoo menjadi pemain sentral di industri baru ini. Para staf penjualan kembali ke kantor membawa kontrak iklan bernilai jutaan dolar. Meski nilainya kecil dibandingkan nilai iklan media mainstream, namun jumlahnya fantastis untuk sebuah startup.
Ketika IPO tahun 1996, Yahoo berhasil meraih dana US$33,8 miliar (sekitar Rp449 triliun) di Nasdaq. Puncak dari ledakan dot com di tahun 1998 tidak hanya membuat Yahoo menggila. Kesuksesan Yahoo membuat semua orang menggilai bisnis internet dan bermimpi menjadi Yahoo selanjutnya.
Orang-orang berlomba mendirikan startup dan pendanaan berhamburan. Startup berlomba-lomba memasang iklan di Yahoo yang membuat dompet Yahoo makin gendut.
Kesuksesan besar secara cepat ini membuat Yahoo mabuk, lebih tepatnya teler. Yang mereka fokuskan setiap hari hanya mengeksploitasi lini bisnis banner ad. Mereka tak menghiraukan kebutuhan untuk mengembangkan inti bisnis di mesin pencari. Yahoo merasa dirinya tak mungkin gagal.
Kita tahu kisah soal Larry Page dan Sergey Brin menawarkan algoritme PageRank kepada Yahoo, dan kemudian ditolak. Tahun 1998 Paul Graham juga pernah menawarkan Revenue Loop, yakni sebuah algoritme di mesin pencari yang menyeleksi hasil-hasil pencarian produk belanja. Ini mirip dengan algoritme yang kemudian digunakan Google untuk menyeleksi iklan.
Tapi, tawaran ini lagi-lagi tidak ditanggapi. Tahun 1999 David Filo disarankan membeli Google yang saat itu baru rilis dan masih kecil sekali. Namun Filo tak melihat ada yang penting pada Google. Saat itu, Google baru memiliki traffic sebesar enam persen dari keseluruhan traffic Yahoo yang tumbuh sepuluh persen per bulan.
Hanya satu yang dikerjakan di Yahoo saat itu: mendapatkan uang, dan uang yang lebih banyak lagi.
Selama pelanggan masih menuliskan cek bernilai besar, maka tak ada yang lebih penting daripada itu. Tahun 2000 adalah puncak valuasi Yahoo di bursa saham senilai US$125 miliar (sekitar Rp1.700 miliar) dengan harga per lembar US$775 (sekitar Rp6,3 juta) atau lima belas kali lebih tinggi dibandingkan ketika IPO empat tahun sebelumnya.

Krisis identitas

Yahoo lahir sebagai perusahaan mesin pencari, yang mendeklarasikan diri sebagai perusahaan media, menghasilkan pendapatan dari iklan, dan bertindak seperti perusahaan software. Semua ini membingungkan. Dan lebih parah lagi, Yahoo tampaknya tak punya misi besar apapun dan gamang dalam memosisikan diri.
Di era emasnya, mayoritas karyawan Yahoo adalah programmer, layaknya sebuah perusahaan software. Namun mereka bukan menjual software, melainkan iklan. Perusahaan software menjual software, perusahaan media menjual iklan.
Pada masa itu konsep perusahaan teknologi adalah perusahaan software. Gagasan bahwa perusahaan teknologi menjual iklan masih tidak bisa diterima. Karena itulah Yahoo bersikeras menyebut diri sebagai perusahaan media.
Alasan lain, Yahoo khawatir bila mereka mendeklarasikan diri sebagai perusahaan teknologi maka membuat mereka rentan diserang oleh Microsoft, raja perusahaan teknologi yang ketika itu membunuh Netscape. Sementara lini bisnis mesin pencari sudah lama tak dihiraukan. Akhirnya, identitas Yahoo makin kabur dan membawa dampak lanjutan yang akut.

Hilangnya kultur hacker

programmer|featured image
Memosisikan diri sebagai perusahaan media ternyata berkonsekuensi serius. Yahoo tak lagi fokus pada pengembangan teknologi dan menganggapnya sebatas komoditas. Para programmer hanya dijadikan sekadar operator yang mengeksekusi keinginan para manajer ke dalam bahasa kode. Microsoft dan Google selalu terobsesi untuk mempekerjakan para programmer terbaik, tapi tidak dengan Yahoo.
Programmer hebat hanya mau bekerja dengan programmer hebat pula. Di dunia bisnis teknologi, mempekerjakan programmer buruk artinya kiamat. Itu sebabnya kita tak pernah lagi melihat produk istimewa dari Yahoo setelah kesuksesan email, mesin pencari, dan chat room di masa lalu. Semuanya menjadi biasa-biasa saja. Tidak berkembang dan makin ketinggalan zaman. Saya pengguna Yahoo Messenger sejak tahun 1999 sampai 2008, ya begitu-begitu saja barangnya.
Tak memosisikan diri sebagai perusahaan teknologi dan kehilangan para programmer andal membuat Yahoo tak punya tenaga dalam merawat inovasinya. Kultur hacker-centric berubah menjadi kultur suit-centric.
Yahoo berubah dari perusahaan inovatif menjadi perusahaan kantoran medioker. Inovasi di Yahoo hanya mengalir satu arah, dari para orang berdasi yang dinamakan manajer dan produser kepada para bawahan, termasuk programmer. Hampir tak ada ruang untuk mengelaborasi gagasan-gagasan baru dari akar rumput, bahkan untuk mempertanyakannya sekalipun.
Perusahaan ini menjadi tua begitu cepat. Memosisikan diri sebagai perusahaan media membuat mereka harus mengelola perusahaan sebagaimana layaknya perusahaan media dijalankan: oleh para orang berdasi, bukan para hacker.
Hacker tak boleh menjalankan perusahaan media. Hacker harus disupervisi oleh para orang berdasi. Mereka fokus merekut MBA. Sementara pesaing-pesaing mereka yang saat itu masih berukuran kecil sibuk merekrut para hacker dari berbagai bidang: teknologi, bisnis, pemasaran, penjualan, desain, dsb.
Mereka tak percaya pada kultur hacker-centric. Meski itu mengingkari sejarah bahwa Yahoo lahir dari tech-hacker dan business-hacker bernama Jerry Yang dan David Filo.

Kegagalan di era smartphone

Ketika startup baru bermunculan, mengusung misi besar mengubah dunia dan menciptakan masa depan, kita tak melihat ada terobosan fenomenal apapun dari Yahoo di era 2000-an. Mereka gagal beradaptasi di era smartphone. Bahkan Marissa Mayer yang diangkat menjadi CEO tahun 2012 untuk memecahkan masalah ini pun gagal mengatasinya.
Sebagai perusahaan media, Yahoo menjual iklan. Dengan masifnya adopsi smartphone pasca 2007, traffic internet meningkat luar biasa pesat yang membuat bisnis periklanan digital makin subur.
Tapi Yahoo hanya bisa menonton dari luar lapangan. Karena mereka sama sekali tidak punya front door (pintu depan) dan ekosistem untuk mendatangkan traffic dari pengguna smart phone.
Front door dan ekosistem hanya dikuasai oleh dua pemain: Google dengan Android, dan Apple dengan iOS. Ekosistemnya dilengkapi dengan browser, mesin pencari, dan mampu membaca perilaku pengguna sehingga iklan lebih tertarget— sesuatu yang dari dulu tidak pernah dihiraukan Yahoo.
Dua pemain ini sudah terlalu besar dan Yahoo tak punya kemampuan untuk menandinginya. Namun Yahoo masih punya basis jutaan user untuk dimanfaatkan. Sehingga mereka memutuskan membuat aplikasi yang superior.
Banyaknya produk yang dimiliki Yahoo membuat mereka kehilangan fokus. Mana yang hendak diprioritaskan: email, media, cuaca, keuangan, mesin pencari, dan yang lain-lainnya? Yahoo setengah mati mencari cara mengatasi gap antar produk ini ke dalam satu-dua aplikasi.
Ketika baru menjabat tahun 2012, Mayer langsung mengakui bahwa Yahoo kekurangan programmer aplikasi dan langsung melakukan perekrutan besar-besaran sampai lima ratus orang. Akhirnya aplikasi itu dirilis dan berhasil mengakuisisi pengguna. Namun ini tidak berlangsung lama.
Lansekap pada smart phone berubah lagi dari content-based service ke communication-based app. Orang-orang ramai-ramai meninggalkan aplikasi konten satu arah dan beralih ke media sosial dan messenger. Sementara di dua dunia tersebut, Yahoo tak punya produk yang bisa diandalkan.
Tak mungkin lagi membuat produk social network seperti Facebook dan Twitter, apalagi membelinya. Flickr yang dibeli Yahoo tahun 2005 sudah kalah dengan Instagram. Yahoo Messenger sudah ketinggalan jauh dibanding WhatsApp, Line, dan BBM. Akhirnya mereka membeli Tumblr tahun 2013 yang akhirnya justru tidak tumbuh sesuai harapan, meski Mayer sudah keluar uang begitu banyak untuk membayar para penulis.

Menularkan kekalahan

Syukurlah Sergey Brin dan Larry Page menolak menjual Google kepada Yahoo tahun 2002 yang ditawar US$1 miliar (sekitar Rp13 triliun). Syukurlah Mark Zuckerberg menolak Yahoo yang menyodori US$1 miliar (sekitar Rp13 triliun) agar mau menjual Facebook.
Karena kemungkinan besar kita tak akan melihat Google dan Facebook seperti saat ini bila dulu jatuh ke tangan Yahoo (Mark pernah ditentang habis-habisan oleh investor, co-founder, dan manajemen karena menolak menjual Facebook ke Yahoo). Nasibnya akan sama dengan Flickr, Tumblr, Geocities, Hotjob, Delicious, dan 114 hot startup lain yang diakuisisi Yahoo dan kini tak terdengar lagi namanya. Semua gagal. Miliaran uang yang dikeluarkan dalam akuisisi itu seakan-akan hanya demi menularkan kekalahan.
Produk dan perusahaan bisa dibeli. Tapi tidak dengan kesuksesan. Karena di balik kesuksesan sebuah produk atau perusahaan selalu ada hal-hal yang tak tampak: visi, misi, kultur, spirit, manajerial, road map, hingga model bisnis.
Yahoo bisa membeli Flickr sebagai produk sukses. Namun dengan cara kerja Yahoo, mereka tak akan bisa mengiterasi proses kesuksesan itu. Yahoo yang sudah rusak hanya akan menularkan kerusakan itu kepada startup-startup dengan produk hebatnya yang telah mereka akuisisi.
Stewart Butterfield, Co-Founder Flickr, meski tak bilang menyesal telah menjual Flickr kepada Yahoo, namun ia mengambil banyak pelajaran berharga. Yang lebih penting dari akuisisi adalah apa yang akan terjadi setelahnya. Ia menyoroti faktor independensi perusahaan pasca akuisisi. Tanpa itu, sebuah produk akan kehilangan nilai yang ditempa oleh segala sesuatu yang tak tampak. Begitu pula dengan siapa orang yang akan menjalankan perusahaan pasca akuisisi, dan apa target dan tujuan akuisisi itu.
Butterfield mengeluh tentang pendapat yang cenderung menggampangkan mendirikan sebuah perusahaan (yang tampaknya kritik ini diarahkan ke Yahoo). Namun ia mengatakan, bila saja dulu tidak menjual ke Yahoo dan menahan diri dalam beberapa tahun, sangat mungkin Flickr terjual sepuluh kali lipat dari nilai akuisisi Yahoo US$35 juta (sekitar Rp465 miliar) dan bisa terus berkembang sebagai produk fenomenal.

Kita tak hanya harus berterima kasih kepada Yahoo karena telah memperkenalkan kita kepada internet, namun juga memetik pelajaran tentang ilusi kesuksesan yang mampu meruntuhkan sebuah kerajaan besar internet yang menjadi pusat gravitasi pada suatu masa.
Ilusi ini bahkan bisa hinggap dan membunuh sebuah perusahaan teknologi yang secara alamiah berdiri di atas semangat inovasi. Kita tengah menyaksikan sebuah perusahaan teknologi paling inovatif pada masanya yang harus mati karena mereka gagal berinovasi, lengah, pongah, dan menganggap dunia ini statis. Dunia berubah, dan Yahoo tidak.
Lalu, bagaimana dengan perusahaan yang malah tidak mau berinovasi?
Bila Yahoo bisa mati, maka begitu pun semua perusahaan di dunia ini. Sony, Kodak, Nokia, RIM, Panam, sampai Lehman Brothers, pastilah setuju. Dalam pasar bebas, tak ada perusahaan yang terlalu besar untuk gagal.
Terima kasih, Yahoo. Selamat tinggal.

Community Post Tech in Asia Indonesia merupakan wadah bagi para profesional yang senang membuat konten, untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar ekosistem startup, teknologi, dan profesional.
Simak Community Manual berikut ini jika kamu ingin mengirimkan artikel ke TIA ID. Sampaikan saran, kritik, dan pertanyaan seputar Community Post ke septa@techinasia.com.

Klien VOPB:

button community post
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan di akun LinkedIn penulis. Isi di dalamnya telah disesuaikan dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Septa Mellina; Sumber gambar: Marketing Land)
sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar